Senin, 26 Juli 2010

CERPEN: BUKIT DI BELAKANG PESANTREN (episode 5)

Aku melihat pak Kyai sekeluarga hendak bepergian dengan mobilnya. Mereka berpakaian rapi dan membawa beberapa bungkusan. Entah apa itu. Sebelum berangkat, gus Fahad menemuiku,”kang jibril, tolong jagain rumah ya. Kami pergi dulu sebentar. Sebenarnya aku mau ajak sampeyan juga sih, sampeyan kan teman baik Fitria”.

lho, memangnya ada apa dengan Fitria? Apa dia sakit?

oh, tidak. Sampeyan belum tahu tho. Aku mau ngelamar Fitria malam ini. Makanya, doain bisa lancar ya, kang”.

o...gitu. Amin.... Wah, semoga sukses ya gus. Aku dukung seratus persen!”.

Kemudian mereka berangkat.

Aku tetap berdiri melihat mobil pak Kyai hingga melewati pintu gerbang, lalu tak terlihat. Lalu aku mendegar suara tangis perempuan dari arah belakangku. Aku menoleh. Betapa aku terkejut, dia adalah Mona, yang sejak tadi mendengar pembicaraanku dengan gus Fahad. Matanya memerah menatapku tajam. Seperti tatapan kecurigaan padaku. Aku langsung mendekatinya, tapi dia malah menjauh dengan air matanya yang semakin deras.

Dia berkata,”siapa yang membalas surat-suratku?

tenang dulu, mona....

siapa yang membalas surat-suratku, mas..... tolong jawab..!”. suaranya mulai meninggi.

Aku diam karena bingung. Lalu dengan sedikit gugup aku coba berkata tegas,”Baiklah. Aku yang membalas sutar-suratmu. Aku yang menulis surat-surat itu untukmu. Aku tak sanggup menerima jika siapapun dan apapun mematahkan hatimu”. Aku tak sadar kedua mataku telah berkaca-kaca. Kuusap air mataku yang sedikit keluar, lalu aku langsung pergi meninggalkan tempat itu.

Setelah kejadian itu, aku kembali sering melamun. Aku banyak berpikir, bodohkah yang selama ini kulakukan. Aku tak tahu lagi bagaimana sikapku jika menghadapi Mona.

Seperti biasa, aku pergi ke tempat setia yang selalu menemaniku saat aku sedih, bukit di belakang pesantren. Disana aku sempat berpikir, aku akan pergi dari pesantren ini. Aku akan pulang memenuhi permintaan orang tuaku. Dan aku akan menikah dengan Rahma, wanita pilihan ibuku. Lama aku merenung, sambil memandang foto Rahma.

Lalu aku dengar suara ucapan salam dari arah belakangku. Aneh. Suara itu belum pernah kudengar di bukit ini. Aku menoleh. Aku terpana, ternyata itu suara pak Kyai yang datang bersama gus Fahad, dan juga Mona. Aku menjawab salamnya, sambil pelan-pelan kusembunyikan foto Rahma.

Pak Kyai berkata,”Jibril, aku sudah tahu apa yang membuatmu sedih selama ini. Fahad dan Mona telah bercerita banyak padaku. Aku tahu apa yang terjadi antara kalian bertiga. Dan aku tahu, bagaimana solusi yang tepat, bahwa kamu akan mendapatkan impianmu. Mona sudah berbicara denganku, bahwa dia ingin sekali menikah denganmu”.

Pandanganku langsung menuju ke arah Mona yang tertunduk sambil tersenyum. Aku masih kurang percaya, maka aku bertanya,”benarkah itu Mona?”.

aku baru sadar, bahwa kamulah yang sebenarnya aku butuhkan, mas jibril...”, jawab Mona dengan menatapku tajam.

Lalu gus Fahad memecah suasana melankolis itu,”udahlah, kang jibril....gak usah malu-malu gitu.... sana kabari orang tuamu, lalu cepat tentuin tanggal pernikahan kalian. Gitu aja kok repot.... hahaha!”. kami tertawa bersama.

Huh..... akhirnya aku mendapatkan impianku yang kukira tak mungkin kudapatkan. Selesailah kepayahanku melawan perih ujian cinta. Aku sudah lelah menghibur hati yang sering sakit ini.

Selesailah pula kisah ini. Karena aku sudah lelah nulis. Aku mau ngerjain tugas-tugas lain.... terimakasih.

Minggu, 25 Juli 2010

CERPEN: BUKIT DI BELAKANG PESANTREN (episode 4)

Kami masuk ke ruang tamu. Sambil kuucap salam, aku terkejut dan heran, disitu sudah ada pak Kyai, ibu Nyai, dua orang santri putri, dan juga Mona. Setelah kami datang, maka terkumpul tujuh orang di ruang itu. Aku semakin heran lagi setelah gus Fahad menutup pintunya. Apa yang sebenarnya terjadi.

Kami semua duduk di tikar dan pak Kyai memulai dengan ucapannya,”baiklah, semua telah terkumpul, dan rasanya ini sudah cukup. Kalian semua, kecuali mona, aku minta sebagai saksi, bahwasanya pada pagi hari ini Mona akan disahkan masuk agama Islam. Yang mana sebelumnya ia beragama Kristen. Kalian akan menjadi saksi atas ucapan syahadat oleh Mona”.

Aku hampir tidak percaya mendengarnya. Ternyata aku baru mengetahui hal itu. Kutatap wajah Mona dengan tajam, dan aku baru menemukan jawaban tentang secarik kertas filosofis itu.

Ritual pun dimulai. Mona duduk di tengah, berhadapan dengan pak Kyai. Pak Kyai menuntunnya dengan bacaan basmalah, kemudian dua kalimat syahadat. Dan Mona pun mengikutinya dengan memejamkan mata, terlihat penuh keyakinan dan kemantapan. Aku terus memandangnya. Muncul pula rasa kagum padanya, karena ia telah menemukan Tuhannya yang selama ini ia cari. Kemudian pak Kyai memberikan segelas air padanya, dan Mona meminumnya. Proses diakhiri dengan pembacaan beberapa ayat al-Qur’an oleh kami semua.

Pak Kyai berkata,”alhamdulillah, akhirnya mona telah menemukan jalan yang tepat. Maka mari kita semua membantunya dengan memberi banyak pengetahuan tentang Islam. Mona, kuperkenalkan kamu pada jibril (sambil tangan pak Kyai mengarah padaku). Ia adalah orang yang pertama kali menemukanmu dan menolongmu”. Lalu mona menatapku dengan senyuman yang sangat manis sekali, dan ucapan lembut,”terimakasih, mas”. Aku hanya bisa tersenyum, tak sanggup mengatakan sesuatu, karena jantungku yang berdetak kencang.

Tiga hari berlalu. Mona menjadi sangat akrab dengan semua santri, bahkan juga dengan keluarga pak Kyai. Maka tentunya ia sering bertemu dengan gus Fahad.

Saat pagi hari aku bertemu dengan Mona di toko kitab. Dia terlihat ceria sekali. Dan jantungku tak bosan-bosannya berdebar kencang setiap kali bertemu dia. Setelah saling menyapa dan sekedar basa-basi, dia memberiku satu amplop surat,”titip, ya mas. Mohon disampaikan, karena ini isi hatiku. Terimakasih”. Itu katanya, sambil beranjak pergi. Aku belum mengerti apa yang ia maksud. Tapi setelah aku membalik amplop itu, betapa kagetnya aku, karena disitu tertulis ”untuk mas Fahad”. Rasanya seperti petir di siang bolong menyambar dadaku.

Aku kembali mencoba menegarkan jiwaku. Aku tidak boleh lemah seperti ini. Dan bagaimana pun aku harus menyampaikan surat itu pada gus Fahad, demi orang yang aku cintai.

Sore hari setelah ashar, aku melihat gus Fahad sedang berdiri di atas bukit, memandang kuningnya mega langit sore. Aku mendatanginya. Kuucap salam, tapi ia tidak menjawab. Aku ulangi sekali lagi, ia sedikit kaget dan baru menjawabnya, dan berkata,”wah, maa’f, kang jibril. Tadi aku sedang ngelamunin seseorang”. Hatiku kembali teriris mendengar itu. Ternyata gus Fahad juga sangat mencintai Mona. Aku berkata,”ya, saya tahu, gus. Tenang saja, dia mengirim surat pada sampeyan nih”. (sambil kusodorkan amplop itu).

Gus Fahad lalu cepat-cepat membuka surat itu. Tapi setelah ia baca, ia mengerutkan keningnya, dan berkata,”dari siapa ini?”

ya dari mona, gus…”, jawabku.

Mona? Aku sama sekali gak ada hubungan apapun dengan dia”, kata gus Fahad sedikit keras.

Aku kaget bercampur senang, entah apalah itu. Tapi itu justru membuatku jadi penasaran.

Gus Fahad meneruskan ucapannya,”gadis yang aku maksud selama ini adalah Fitria, bukan Mona”. Wah, aku sangat lega mendengarnya. Tapi aku tetap berkata,”tetapi Mona sangat menyukai sampeyan, gus”.

ya, aku udah tahu itu. Tapi aku sama sekali gak mencintainya. Tolong jelaskan ke dia, dan sampaikan salam ma’af ku, ya”. (sambil mengembalikan amplop itu padaku).

baik, gus”. Kemudian aku beranjak pergi.

Aku menjadi bingung. Di satu sisi aku senang jika mereka berdua ternyata tidak ada hubungan. Tapi di sisi lain, aku tak mau jika Mona menjadi sakit hati. Walaupun aku sangat mencintainya.

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku putuskan merahasiakan masalah ini dari Mona. Aku akan selalu membalas surat Mona atas nama gus Fahad. Aku juga harus merahasiakan ini dari siapa pun.

Dan benarlah terjadi. Aku selalu membalas surat mona atas nama gus Fahad. Dia terlihat senang sekali, dan aku merasa sangat sakit. Dalam surat itu ia sering menanyakan perihal agama. Aku pun menjawabnya, mencoba memenuhi apapun yang ingin Mona ketahui. Bahkan beberapa kitab dan buku telah kubelikan, tentunya masih atas nama gus Fahad.

Sandiwara itu berlangsung hingga hampir dua bulan. Kini Mona menjadi gadis yang telah banyak mengetahui tentang agama. Karena memang, ia adalah tipe wanita yang cerdas, rajin, dan selalu serius jika mempunyai tekad. Sementara aku semakin takut jika semua rahasia itu terbongkar, pastilah Mona berbalik menjadi sangat membenciku.

Setelah sholat ’isya’, seperti biasa para santri menuju kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran. Terdengar dari arah utara, para santri sedang menghafal susunan lafadz tasrif Lughawi. Dari arah timur, terdengar gema ayat-ayat al-Qur’an. Dari arah selatan, terdengar para santri sedang muhafadhoh nadzom-nadzom alfiyah. Sementara dari samping terdengar perdebatan wacana antar pendukung filsafat ibnu sina dan pendukung theologi al-Ghazali. Suasana memang agak bising, tapi sungguh menyenangkan. Itulah dunia santri, yang jarang ditemui di luar sana.

Aku melihat pak Kyai sekeluarga hendak bepergian dengan mobilnya. Mereka berpakaian rapi dan membawa beberapa bungkusan. Entah apa itu. Sebelum berangkat, gus Fahad menemuiku,”kang jibril, tolong jagain rumah ya. Kami pergi dulu sebentar. Sebenarnya aku mau ajak sampeyan juga sih, sampeyan kan teman baik Fitria”.

lho, memangnya ada apa dengan Fitria? Apa dia sakit?

oh, tidak. Sampeyan belum tahu tho. Aku mau ngelamar Fitria malam ini. Makanya, doain bisa lancar ya, kang”.

o...gitu. Amin.... Wah, semoga sukses ya gus. Aku dukung seratus persen!”.

Kemudian mereka berangkat.

Aku tetap berdiri melihat mobil pak Kyai hingga melewati pintu gerbang, lalu tak terlihat. Lalu aku mendegar suara tangis perempuan dari arah belakangku. Aku menoleh. Betapa aku terkejut, dia adalah Mona, yang sejak tadi mendengar pembicaraanku dengan gus Fahad. Matanya memerah menatapku tajam. Seperti tatapan kecurigaan padaku. Aku langsung mendekatinya, tapi dia malah menjauh dengan air matanya yang semakin deras.

Dia berkata,”siapa yang membalas surat-suratku?”.

Oh tuhan.................

Sabtu, 24 Juli 2010

CERPEN: BUKIT DI BELAKANG PESANTREN (episode 3)

Wahai pengatur takdir….apa sebenarnya yang Engkau rencanakan untukku. Apakah ini perasaan cinta yang sering dibicarakan orang-orang di luar sana. Aku sungguh tersiksa karena ini. Jika ini memang cinta, mungkinkah aku mencintai seorang gadis yang sama sekali aku tak tahu latar belakangnya. Hhh…. Nafas panjang sering kulakukan untuk menenangkan pikiranku.

Terdengar suara langkah kaki semakin dekat dari arah belakangku. Oh ternyata dia gus Fahad yang datang dengan membawa secangkir besar kopi hangat.

Apa yang sedang kamu pikirkan, kang jibril...? apa sedang menunggu wahyu dari Tuhan..? hehehe”. Dia memang sering meledek namaku.

oh, bukan apa-apa, gus. Cuma pengen ngadem aja nih… sampeyan kok belum istirahat?”.

istirahat itu gak harus tidur, kang….intinya nenangin tubuh dan pikiran. Terutama sambil minum kopi kaya gini. Hehe. Oya, ini kubawain buat sampeyan juga lho, kang. Gak papa kan, satu cangkir berdua?”.

oh, iya, gus. Makasih”, jawabku sambil agak sungkan.

Gus fahad memang suka sekali bergaul dengan para santri. Dulu pun dia sering masak bareng kami di dapur pesantren, lalu makan bareng-bareng di nampan besar. Maklumlah, dia juga pernah merasakan menjadi santri di pesantren lain selama beberapa tahun. Jiwa santri itulah yang menjadi jembatan besar atas keakraban kami.

Kami ngobrol beberapa lama. Gus Fahad menceritakan pengalamannya saat di Singapura. Aku pun juga menceritakan bagaimana keadaan pesantren selama dia pergi, termasuk kejadian subuh tadi.

Secangkir kopi pun semakin lama semakin berkurang. Kemudian tiba-tiba gus Fahad ingin mengatakan hal rahasia padaku. Bisa dibilang semacam curhat, yang seperti dilakukan perempuan. Ini tentang cinta. Ia mengatakan,”sampeyan tahu kan, kalau aku ini anak tunggal. Bapak sama ibu udah nganjurin aku menikah. Dan sebenarnya aku meresa menyukai seorang gadis yang baru kukenal di pesantren ini. Jika gadis itu menerima, insyaAllah aku siap segera menikahinya”. Entah kenapa, mendengar itu aku begitu terkejut, bahkan takut. Entah apa yang membuatku seperti itu, tapi yang jelas, nama Mona langsung mencul di perkiraanku. Hatiku benar-benar hancur, hingga bernafas pun sulit sekali. Aku mengira Mona pasti menerima lamaran seorang seperti gus Fahad.

Gus Fahad melihat ekspresiku yang mencurigakan. Ia bertanya apa aku baik-baik saja, tapi ku cuma bisa diam, sambil tersenyum kecut. Aku tahu dia merasa heran melihatku, dan ia berkata,”sepertinya sampeyan kurang sehat, kang. Yaudahlah, mari kita istirahat. Hari sudah larut”. Aku cuma senyum saja. Lalu gus Fahad berjalan pulang terlebih dahulu.

Pikiranku semakin kalut. Mataku tak bisa melihat apapun, kecuali bayangan Mona yang bersanding dengan gus Fahad. Tak sadar air mataku keluar, tapi langsung kuusap dengan lengan bajuku. Aku segera berdiri, mengatur nafas, mencoba tegar, dan cepat-cepat kembali ke asrama.

Esok hari matahari terbit cerah sekali. Cahayanya terasa menghangatkan dan menyulut semangatku. Sehingga tangan dan kakiku menjadi ringan untuk segala aktifitas. Apalagi setiap hari selalu kuawali dengan membaca al-Qur’an.

Ketika aku berjalan di depan rumah pak Kyai, spontan aku berhenti, melihat Mona berkerudung putih, terlihat cantik sekali. Dia sedang berbincang serius dengan pak Kyai di teras depan. Dari kejauhan kulihat, sepertinya pak Kyai sedang menasehati Mona. Dan aku penasaran, karena tiba-tiba Mona menangis. Tapi kemudian aku sadar, itu pasti pembicaraan rahasia. Maka aku langsung pergi dari situ.

Matahari sampai pada seperempat tugasnya di hari ini. Selesai shalat dhuha, aku dipanggil oleh gus Fahad. Mendadak ia mengajakku ke rumahnya. Aku bertanya ada tugas apa, tapi dia cuma menjawab,”sudahlah, ikut saja, cuma sebentar kok, tapi penting banget…!”. Ya aku ikut saja.

Kami masuk ke ruang tamu. Sambil kuucap salam, aku terkejut dan heran, disitu sudah ada pak Kyai, ibu Nyai, dua orang santri putri, dan juga Mona. Setelah kami datang, maka terkumpul tujuh orang di ruang itu. Aku semakin heran lagi setelah gus Fahad menutup pintunya. Apa yang sebenarnya terjadi.........

Senin, 04 Januari 2010

CERPEN: BUKIT DI BELAKANG PESANTREN (episode 2)

Di tengah-tengah majlis pengajian itu, aku mencoba tidak berisik, dan membuka kertas itu dengan sedikit menyembunyikannya. Aku menyipitkan mataku, dan mulai membaca,”Apa yang sebenarnya aku cintai, saat aku mencintai Tuhan?”.
Aku terpana sejenak, dan berpikir, karena kalimat itu terasa tidak asing di benakku. Ya, aku ingat, itu kalimat ucapan Augustinus, seorang filsuf, tentang konsep ketuhanan. Aku pernah mengenal kalimat itu dari buku filsafat yang sering kupinjam dari teman.
Aku menyimpan kertas itu lagi di saku. Sambil kembali memegang pena, kupandang pak Kyai yang ternyata sejak tadi menatapku. Aku tundukkan pandangan karena sedikit malu, lalu pengajian berlanjut.
Hari telah beranjak siang. Saat itu aku pergi ke pasar untuk membeli buku dan berbelanja kebutuhan pribadi. Di toko buku aku bertemu dengan Fitria, teman baikku yang juga seorang santri putri di pesantren kami. Aku menyapanya, dan dengan sedikit tidak enak, aku langsung menanyakan kabar gadis yang dirawat ibu Nyai itu. Fitri pun menjelaskan,”namanya Mona, kang. Alhamdulillah sekarang di sudah baikan, dan mulai tinggal bersama kami di asrama putri. Tapi sayangnya, dia suka diem kalau kami tanya-tanya tentang dia. Sepertinya dia punya masalah serius, kang”.
Mendengr jawaban Fitria, entah kenapa aku juga menjadi resah memikirkan gadis misterius itu. Dalam hati aku terus bertanya; Mona, siapa sebenarnya kamu ini. Apa yang telah terjadi padamu. Apa keterkaitanmu dengan secarik kertas itu…. Sambil berjalan pulang dari pasar, wajah Mona masih saja terus membayangi mataku. Aku benar-benar tak menyangka aku jadi seperti ini. Dia memang sangat cantik, berkulit putih, dan tubuhnya pun harum, walau saat itu sedang basah karena hujan.
Banyak dari santri yang menanyakan tentang gadis itu padaku, tapi aku diam saja, tak mau banyak bicara. Aku tak mau Mona menjadi pembicaraan di pesantren, yang bisa membuat gosip-gosip menyebalkan berkeliaran disana-sini.
Hari sudah mulai gelap. Aku berjalan ke depan untuk menutup pintu gerbang. Aku melihat bayangan seseorang berjalan dari kejauhan. Aku terus mengamatinya hingga lelaki yang membawa koper besar itu semakin dekat.
Wah, ternyata dia adalah gus Fahad, putra tunggal dari pak kyai, yang sejak empat tahun lalu menuntut ilmu di Singapura. Aku segera mendekatinya dengan mengucap salam. Aku menyalaminya, dan ia pun memelukku dengan senyum ramah,”wa’alaikum salam, kang jibril… gimana kabar semua, masih tetap aman kan? Hahaha”. Sikapnya masih saja asik seperti dulu. Sambil kami ngobrol, aku bawakan koper besarnya hingga sampai rumah.
Kedatangan gus fahad disambut gembira oleh pak Kyai dan ibu Nyai. Mereka terlihat sangat gembira dan bangga atas kedatangan putra satu-satunya yang baru saja bergelar sarjana filsafat itu. Aku kembali ke asrama, bersiap-siap menjelang shalat maghrib.
Malam pun semakin larut. Suara lonceng jam di gardu berdenting sebelas kali. Aku merasa pikiranku kalut. Bermacam lamunan berdesak-desakan di otakku yang sebenarnya sangat lelah. Aku keluar dari kamar dan berjalan ke atas bukit kecil di belakang pesantren.
Saat itu suasana sangat tenang. Bintang-bintang terlihat jelas di langit, dan udara pun tak terlalu dingin. Aku melihat beberapa pertugas jaga sedang bercanda di gardu, sementara tak ada canda di benakku saat itu.
Aku duduk di atas rumput tebal di atas bukit, dan menatap lurus ke arah depan. Aku sadar yang ada dihadapanku hanyalah kunang-kunang yang mondar-mandir sejak tadi. Tapi yang membuat aku tak merasa bosan adalah wajah Mona justru terlihat lebih jelas dari pada cahaya kunang-kunang itu.
Wahai pengatur takdir….apa sebenarnya yang Engkau rencanakan untukku. Apakah ini perasaan cinta yang sering dibicarakan orang-orang di luar sana. Aku sungguh tersiksa karena ini. Jika ini memang cinta, mungkinkah aku mencintai seorang gadis yang sama sekali aku tak tahu latar belakangnya. Hhh…. Nafas panjang sering kulakukan untuk menenangkan pikiranku.
Terdengar suara langkah kaki semakin dekat dari arah belakangku. Oh ternyata dia adalah.....

Minggu, 03 Januari 2010

DETAK 8: CERPEN: BUKIT DI BELAKANG PESANTREN (episode 1)

Namaku Jibril, anak dari petani miskin di pinggiran kota kecil. Sejak enam tahun lalu aku numpang ikut belajar mengaji di pesantren “al-Haqq”, yang jauh dari keramaian kota. Dan sejak delapan bulan lalu aku mendapat tugas di bagian keamanan di pesantren ini.
Malam itu asrama-asrama mulai terasa sepi. Terdengar lonceng jam menunjukkan pukul 01.00 malam. Para santri terbiasa mulai tidur sejak satengah jam yang lalu. Aku berjalan berkeliling kawasan asrama putra, dengan seorang temanku, Ridlwan, salah seorang petugas giliran jaga untuk malam itu. Sementara ketiga petugas yang lain sedang berkumpul di pos jaga, yang biasa kami sebut dengan “gardu”.
Setelah berjalan selama kira-kira setengah jam, tiba-tiba aku merasakan punggungku dingin karena tetesan gerimis. Aku berkata,”kang Rid, sampeyan pergi aja ke gardu, ikut ngumpul sama yang lain. Aku mau balik ke kamar”. “oke, kang”, jawabnya.
Gerimis semakin membesar. Suasana berubah menjadi bising karena suara tetesan air ke atap seng di sebagian atap kamar panggung. Persis sekali dengan keadaan rumahku delapan tahun lalu, saat aku masih terbiasa dengan lilin.
Aku masuk kamar dengan pelan, walau sedikit tergesa-gesa. Tidak enak kalau sampai membangunkan Ja’far dan Hanafi, teman satu kamarku. Kugantungkan bajuku yang sedikit basah, lalu spontan perhatianku mengarah pada lipatan kertas yang jatuh dari saku bajuku. Aku baru ingat, kertas itu adalah surat dari orang tuaku yang belum sempat kubaca. Aku memang agak malas membacanya, karena aku yakin, lagi-lagi isinya pasti agar aku cepat pulang dan cepat mencari pendamping hidup. Aku sendiri juga heran, kenapa aku belum tertarik pada hal yang satu itu. Tapi untuk memastikan, aku membuka surat itu di bawah lampu belajar bekas yang kubeli kemarin.
Aku membuka kertasnya, aku merasa heran, karena bentuk tulisan itu berbeda sekali dengan biasanya. Tulisan tangan itu terlihat sangat bagus dan rapi, tidak seperti tulisan ibu yang banyak coretan dan sering salah huruf. Maklum pendidikan ibuku hanya sampai pada Sekolah Dasar. Malah kabarnya dulu beliau sering bolos sekolah karena sering digangguin anak SMP, yang akhirnya jadi ayahku. Lucu sekali. Setelah itu beliau langsung akrab dengan yang namanya padi.
Aku baca surat itu, ternyata benar dugaanku. Selain mengabarkan keadaan keluarga, ibu memintaku agar cepat pulang. Dan di akhir surat tertulis;”ini adalah tulisan Rahma, putri pak KADES, yang baru lulus SMA tahun ini. Ibu meminta tolong ke dia agar nulis ucapan-ucapan ibu ini. Dan kamu perlu tahu, kalau Rahma juga telah lama nunggu kamu, le…”. Lalu aku kaget, ternyata ada sebuah foto juga di dalam amplop itu. Foto seorang perempuan cantik berjilbab, yang tertulis kata “Rahma” di balik foto itu. Aku cuma senyum-senyum saja, dan mengeluhkan sikap mereka yang menurutku lucu sekali….
Hujan mulai sedikit reda. Tapi hawa dingin masih menusuk tulang. Aku mengalihkan perhatianku dengan sholat tahajjud dua raka’at, dan kemudian membaca buku Mutiara Ihya’ ‘Ulum ad-Diin, kitab ringkasan oleh al-Ghazali. Dan aku menemukan ketenangan dari buku itu.
Empat puluh menit berlalu, mataku sudah mulai lelah. Lalu aku rebahkan tubuhku di tikar tua yang kupakai sejak tiga tahun lalu. Aku pejamkan mata sambil berdo’a kepada Tuhan, agar Ia menjaga tidurku, memberi manfaat atas nikmat pulasku, dan agar Ia mengambil nyawaku jika esok hari lebih buruk dari pada hari-hariku sebelumnya. Aku mulai tertidur….
Suara lonceng terdengar dari arah gardu. Menandakan bahwa waktu subuh tiba lima belas menit lagi. Aku bangun dan bergegas merapikan diri, kemudian bersama para petugas jaga, membangunkan seluruh santri di asrama putra.
Setelah selesai sholat subuh, para santri menyebar menuju kelas masing-masing untuk mengaji. Gemuruh suara ayat-ayat al-Qur’an terdengar dari masing-masing kelas. Sementara aku menuju pintu gerbang pesantren untuk membukanya.
Pintu gerbang terbuka. Aku melangkah kedepan untuk melihat suasana luar. Tetapi betapa aku terkejut karena melihat seseorang duduk meringkuk di samping luar pintu gerbang. Rambutnya panjang, dan pakaiannya basah. Aku sempat mengira kalau dia orang gila yang kehujanan tadi malam.
Aku mendekatinya dan memperhatikannya lebih tajam. Ternyata dia seorang perempuan yang sedang tertidur. Kucoba bangunkan dia dengan hanya memanggil-manggilnya saja, tapi tak ada respon. Lalu kusentuh bahunya dan terus memanggilnya. Tapi tubuhnya malah terguling ke tanah. Aku bingung sekali, ternyata gadis itu pingsan. Kulihat tangannya menggenggam kecarik kertas kecil. Aku mengambilnya dan spontan langsung kusimpan di sakuku. Entah kertas itu penting atau tidak, yang jelas aku harus cepat menolongnya. Aku langsung memanggil seorang santri, kuajak dia mengangkat gadis itu dan membaringkannya di wisma tamu putri. Para santri putri berdatangan untuk melihat. Kemudian ibu Nyai datang dan menanyakan apa yang terjadi. Aku menjelaskan semuanya, lalu ibu Nyai mengucapkan terimakasih, dan beliau bilang akan merawat gadis itu sampai Ia pulih. Kemudian aku kembali ke asrama putra dan meneruskan aktifitas harianku.
Setiap pagi pak Kyai mengaji kitab bersama para santri di serambi masjid. Aku pun mengikutinya. Tetapi karena kejadian subuh tadi, aku jadi terlambat dan duduk di barisan paling belakang. Kami mengaji kitab Tafsir al-Maraghi, yang sudah beberapa baris telah kulewatkan.
Aku tak habis pikir, di tengah-tengah mengaji mataku tertutupi dengan wajah gadis yang pingsan itu. Aku terus berpikir, siapa gadis itu, dan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Dia tentu tahu kalau tempat ini dalah pesantren, dengan melihat papan nama besar di atas pintu gerbang itu. Tetapi sepertinya ia ingin sekali masuk, walau dengan gaya berpakaian yang tentu dilarang di tempat ini.
Kemudian, aku baru ingat dengan secarik kertas yang kusimpan di sakuku tadi. Aku langsung mengeluarkannya, berharap menemukan jawaban yang kucari tentang gadis itu. Di tengah-tengah majlis pengajian itu, aku mencoba tidak berisik, dan membuka kertas itu dengan sedikit menyembunyikannya. Aku menyipitkan mataku, dan mulai membaca,”Apa yang sebenarnya aku cintai, saat aku mencintai Tuhan?”.

Senin, 27 Juli 2009

DETAK 7: KUTUKAN CINTA

Saat kuucap nama indahnya

Entah mengapa hatiku meronta, dan jantungku berontak keras

Bola mataku mati pada satu arah

Gelap tapi jelas

Wajah yang selama ini mengganggu lelapku

Inilah virus yang sedang menghimpit nafasku

Karena tiap udara kuhirup, perasaan cinta menusuk tiap tulangku

Inikah aku insan terkutuk?

Yang membuatku roboh tersungkur ke pangkuan rembulan

Rembulan polos yang membelai rambutku, tapi dengan selalu bisikkan kata cinta

Aku pun terlelap, hingga terjatuh di jurang tepi surga

Aku bangun dan bertanya,

Apa lagi semua ini....

DETAK 6: GADIS HUTAN

Aku melangkah ke tiap celah hutan

Wujut awal pengembaraanku yang tanpa arah

Kutinggalkan matahari,

Kutinggalkan bintang,

Kutinggalkan arah jalanan

Karena disini bukan kakiku yang berjalan, tapi batinku yang sedang berlarian

Aku berhenti di tengah bukit gersang

Kupejam mata, kurentang tangan,

Kuhirup udara sedikit panas oleh berbagai bara

Lalu kulihat kobaran putih dalam pejamku

Semakin dekat, semakin dekat

Hingga sedikit menyulut bulu mataku

Tapi udara kembali mengalir sejuk, dan memunculkan kicauan burung di sekeliligku

Maka kubuka mata perlahan

Tapi bola mataku tetap hanya bisa diam, yang juga turut memaku seluruh urat tubuhku

Bumi ini terlihat buram,

Tapi tidak pada satu arah tatapku,

Gadis bercadar putih sedang bersimpuh di tepi rawa

Menatap tajam pada awan yang mendung kecoklatan

Kucoba memanggilnya dengan suara serakku

Tapi justru semilir angin yang menyahutku, dengan menyingkap cadar, dan tunjukkan wajah yang elok itu

Kemudian angin berbalik arah

Menghantarkan satu kalimat lembut gadis itu...

”hanya Tuhan yang sedang kunantikan”